Masih maudisini kan? Pada artikel ini akan menceritakan tentang sebuah percakapan singkat dengan salah satu orang sabahat yang telah lama tidak berjumpa. Sebuah percakapan yang bisa dikatakan pahit. Sepahit kopi espresso yang dia pesan kala itu.
Kita jarang berjumapa karena berbagai alasan seperti sibuklah, jauhlah, dan ini itu. Sampailah pada saat itu.
Daftar Isi
Pertemuan Singkat
Tempat ini seperti tidak asing bagi saya. Sebuah rumah yang cukup besar dengan cat warna hijau. Terdapat banyak tanaman Pakis Haji di halaman depannya. Saya mencoba masuk dan menekan bel yang tepat berada di sebelah pintu.
Tiga kali bel saya tekan dan pintu pun terbuka dengan sendirinya.
Apakah rumah ini kosong?
Saya segera masuk dan duduk di sofa yang berada pada ruang tamu. Melihat foto-foto dan hiasan yang terpajang pada dinding ruang tamu itu semakin meyakinkan saya bahwa sebelumnya saya pernah berada di tempat ini sebelumnya.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki turun dari atas tangga. Semakin lama langkah itu semakin terdengar jelas ada seseorang yang turun ke bawah. Mata saya langsung menuju ke arah tangga tadi dan melihat seseorang sedang tersenyum ke arah saya.
Saya mengenal senyum khasnya itu. Lantas saya balas tersenyum kepadanya dan berharap bisa berbincang hal lebih banyak lagi, tapi…
—
Saya terbangunkan oleh suara anak kecil berusia 5 tahun, suaranya sangat nyaring meminta saya untuk membukan kue kering kesukaanya.
Ada beberapa notifikasi yang muncul dari handphone yang sedang saya pegang. Notifikasi tersebut berisikan pesan dari sahabat saya. Percakapan lewat media sosial pun terjadi.
Beni : “Kiw lagi dimana?”
Saya : “Lagi di rumang mang, ada apa?”
Beni : “Nanti siang sibuk teu? Main lah yuk sekalian ngopi-ngopi.”
Saya : “Oke hayu lah. Sekalian menjernihkan pikiran yeuh.”
Beni : “Baik baik pak siap.”
On The Way adalah HOAX
Saya dan Beni membuat kesepakatan untuk bertemu di kedai Kopi daerah Jalan Cisangkuy Bandung pada pukul 13.00 WIB.
Matahari tepat ada diatas kepala dan jalanan sedang macet karena jam bubaran makan siang bagi beberapa pabrik yang saya lewati. Saya melihat jam dan ternyata sudah menunjukan pukul 13.26 WIB.
Selepas turun dari angkutan umum saya mempercepat langkah saya menuju kedai kopi.
Ada yang aneh di kedai kopi ini. Tidak ada satu orang pun yang saya kenal. “Mana nih si Beni”, saya bergumam dalam hati.
Saya : “Ben dimana yeuh? Saya udah nyampe.”
Beni : “Otw mang bentar lagi nyampe, masih di jalan ieu macet.”
Saya : “Oke buruan.”
Tidak enak terus diperhatikan olehsi pelayan karena saya tidak memesan apa-apa, saya pun memesan segelas es coklat. Sangat pas menikmati minuman ini di hari yang sedang terik ini.
25 menit berselang.
Saya : “Ben masih lama teu?”
Beni : “5 menit lagi nyampe mang.”
Saya : “Buset maneh otw dari Garut Ben? Dari tadi engga nyampe-nyampe gini. Buruan buruan.”
Beni : “Siap pak. Meluncur menuju TKP ini.”
Bagi sebagian orang yang tidak suka menunggu, hal ini justru sangat menjengkelkan. Bayangkan saja, hampir satu jam saya menunggu. Setelah saya intrograsi ternyata dia ketiduran sesaat sebelum berangkat.
Yaa bisa saya simpulkan bahwa “otw” adalah sebuah hoax untuk menghibur orang yang terlanjur menunggu.
Terkadang saya pun bilang “otw” padahal aslinya tidak sedang “otw”. Atau bahkan kalian termasuk juga ke dalam jajaran orang-orang yang menyagalah gunakan kata “otw” tadi.
Yaa mari kita lanjutkan cerita ini…
Secangkir Kopi Espresso Menjadi Pembuka Obrolan
Panggil saja dia Beni. Salah satu sahabat dari zaman SMA. Sekarang dia berkuliah di salah satu Universitas ternama di Bandung. Dia masih seperti dulu, sama gilanya saat terakhir kali bertemu entah beberapa tahun yang lalu. Saya lupa.
Dia memesan secangkir kopi espresso, kopi pahit selalu menjadi favoritnya. Sedangkan saya masih dengan es coklat yang masih tersisa setengah gelas.
Obrolan saat itu mengenang masa SMA yang sangat absurd. Banyak sekali kejadian-kejadian gokil yang sering dilakukan..
Hal baik dan hal buruk pernah kita lakukan saat SMA dulu. Terkadang bodoh sekali kita sampai berani melakukan hal tersebut.
Dari obolan yang umum ini mulailah menyempit pada obrolan yang tingkatannya lebih serius. Yaa walaupun ngobrol dengan Beni bisa dibilang tidak pernah serius.
Raut wajahnya mulai menunjukan mimik yang serius serta ada sedikit kesedihan yang bisa saya lihat. Seolah-olah dia hidup berada di bawah tekanan kala itu. Pahit seperti kopi espresso yang dia pesan.
Es Coklat yang Mulai Terasa Hambar
Percakapan semakin dalam. Rasa es coklat ini semakin hambar karena es nya yang mulai mencair menyatu dan sedikit merusak cita rasanya. Saya bisa menebak rasa kopi espresso-nya Beni yang mulai dingin.
Wajah Beni semakin kusut setelah dia menceritakan bahwa tidak lagi menjalin hubungan dengan wanita yang dia sayang. Bisa dikatakan dia sudah putus sama pacarnya.
Saya sendiri kaget bagaimana Beni bisa sampai mengakhiri hubungan ini. Sebuah hubungan yang sudah terjalin selama kurang lebih 3 tahun. Bahkan orang tua keduanya pun sudah saling mengenal satu sama lain.
Dia menceritakan dengan detail masa-masa dengan mantan nya itu mulai dari saat indah, bertengkar, sampai masalah yang mengharuskan dia harus berpisah untuk sejenak atau berpisah untuk selamanya.
Pilu terdengar setiap kata yang dia ucapkan.
Tapi dia tetap menjadi Beni, yang masih bisa bercanda saat dia menceritakan hal-hal yang sedih sekalipun.
Senja Semakin Hilang Ditelan Malam
Sudah hampir 3 jam saya dan Beni berada kedai kopi ini. Es coklat pun sudah tidak menyisakan apa-apa, dan kopi espresso tinggal menyisakan ampasnya yang pekat. Sepekat curhatan Beni.
Matahari pun semakin jauh meninggalkan senja. Malam siap menjadi pengganti kisah hari ini.
Pada pertemuan itu, saya lebih banyak mendengar ketimbang berbicara.
Menjadi sebuah pelabuhan untuk Beni menceritakan seluruh keluh kesahnya sampai dia harus mengakhiri hubungannya.
Miris.
Sebuah hubungan yang harus berakhir setelah dirajut sekian lama. Padahal Beni berniat akan menikahinya dengan segera setelah dia menyelesaikan pendidikannya.
Bisa saya simpulkan bahwa Beni masih menyimpan rasa sayang terhadap mantan kekasihnya itu.
Namun suratan takdir berkata lain. Rencana dan impian yang telah mereka perbincangkan dulu, kini hanya menjadi sebuah angan yang menggantung. Menggantungkannya pada do’a yang terus dia selipkan di setiap malam.
Sesekali saya pun memberi pandangan dari berbagai sudut terhadap apa yang Beni ceritakan. Memberi sedikit nasihat agar dia tidak terus terlarut dalam kesedihan yang mendera.
Untuk menjadi seorang pembicara yang baik, kita pun harus bisa menjadi pendengar yang baik. Syukur Beni sedikit bisa terhibur dengan nasihat dan masukan kecil yang saya sampaikan
Pesan Sederhana Kala Senja
Waktu terus berjalan tanpa bisa kita ulangi. Hargailah setiap proses yang terjadi, jangan terus menyalahkan keadaan kita sekarang.
Life Must Go On.
Teruslah memperbaiki diri untuk segera dipertemukan dengan orang yang sudah menanti kehadiran kita dalam hidupnya.
Karena tidak selamanya hidup ini seperti apa yang kita inginkan. Terkadang dari hal yang kurang menyenangkanlah justru kita terus belajar.
Perlu kerikil tajam agar kita lebih berhati-hari dalam melangkah. Serta semak berduri agar kita bisa lebih dewasa dalam bersikap.
Tetaplah tersenyum kawan agar senantiasa bersyukur atas apa yang telah kita dapat hingga detik ini.
Matahari sudah tidak tampak lagi, langit pun sudah terlihat lebih gelap. Ketegangan sudah mulai mencair lewat candaan-candaan kita tentang hal yang tidak lucu sekalipun.
—
Bis melaju kencang melewati jalan tol. Lamunan saya terpecahkan dari suara notifikasi pesan singkat.
Ternyata isi pesan singkat itu dari Beni, seorang sahabat yang terakhir bertemu sekitar 4 bulan lalu di kedai kopi.
Saya tersenyum melihat isi pesan bahwa dia kembali menjalin hubugan spesial dengan seseorang yang dia ceritakan di kedai kopi.
Kudo’akan kau menemukan kebahagiaan kembali bersamanya, kembali mengukir harapan yang sempat terhenti sejenak.
Salam hangat sahabat yang menunggu undangan pernikahanmu dengannya.