Masih maudisini kan? Pada artikel ini, saya akan menceritakan pengalaman menyedihkan yang pahit. Bukan tentang kehilangan seseorang atau kehilangan benda berharga. Tapi saya kehilangan uang sebesar Rp 15.000,-.
Jangan salah kira, kehilangan uang sebesar itu hampir membuat saya kehilangan nyawa. Tapi saya akan menyajikan pengalaman menyedihkan ini pada versi yang tidak terlalu meneganggkan, supaya para pembaca juga tidak terlalu tegang saat membaca tulisan ini.
Yuk mulai.
—
Daftar Isi
Macet yang Menyenangkan
Baru saja beberapa puluh meter saya harus mengerem untuk memperlambat kembali laju motor. Jalanan sekitar Dago seperti biasa macet saat sore seperti ini.
Akan terasa aneh sepertinya jika sore hari jalanan ini tidak macet. Selain menjadi salah satu pusat kota, Dago juga menjadi daerah yang terdapat beberapa sekolah umum dan Universitas.
Mulai dari siswa yang bubaran sekolah, mahasiswa yang sudah beres kuliah, dan orang-orang yang akan menuju ke salah satu pusat perbelanjaan di kawasan ini. Jadi tidak heran, macet sudah menjadi agenda harian.
Sengaja saya arahkan kaca spion motor kepada orang yang ada dibelakang motor saya. Hanya untuk sekedar melepas kejenuhan yang disebabkan oleh kemacetan ini.
Perbincangan ringan pun terjadi, entah cerita apa, yang penting ngobrol aja untuk mengalihkan perhatian dari macetnya jalanan.
Kita sama-sama menertawakan obrolan-obrolan yang terbilang engga jelas itu. Tapi tiba-tiba mata saya terfokus pada seorang polisi yang sedang mengatur jalanan.
Melihat polisi itu saya jadi teringat kejadian pada 4 Agustus 2009 silam. Sebuah kejadian yang telah membuat orang tua saya khawatir setengah mati.
“Eh aku pernah diculik tau”
“Engga percaya, badan segede gini gimana nyuliknya coba?”
“Beneran ini mah, dulu pas SMP kejadiannya, deket sekolahan”
“Ko bisa sih? Heran sama penculiknya, kok mau-maunya nyulik kamu”
“Engga tau atuh, namanya juga musibah.
“Kalau aku jadi penculiknya pasti mikir-mikir dulu pas nyulik kamu hahaha”
“Yeeeeh… Penasaran engga gimana ceritanya?”
“Engga ah hahaha”
“Yaudah aku ceritain”
—
Jadi seperti ini
Semua Gara-gara Naruto
Semakin siang saya semakin ngantuk untuk ikut pelajaran IPA, tapi mau gimana lagi, toh sudah menjadi kewajiban untuk tetap masuk kelas. Meskipun menjadi salah satu pelajaran favorit, tapi mood saya sedang males aja.
Eh lagi males-malesnya ternyata ada tugas yang harus dikumpulkan besok. Asem banget kan.
Teeeeet… Teeeeeet.. Teeeet.
Suara bel mejadi pemecah rasa ngantuk saya. Akhirnya waktu yang di tunggu-tunggu pun tiba.
Tapi…
Sebelum pulang saya harus ke warnet dulu untuk mengerjakan tugas pelajaran IPA tadi dan dilanjutkan bimbel di dekat sekolah tadi.
Dengan sisa-sisa tenaga, saya mengerjakan tugas itu sebaik mungkin. Supaya mendapat nilai yang bagus pula di pelajaran yang saya sukai.
“Ah nge-print-nya nanti aja pulang bimbel, laper euy pengen jajan dulu.” Saya bergumam dalam hati.
Tugas tadi pun saya simpan dulu di dalam flashdisk untuk di print nanti sepulang bimbel.
Lagi-lagi saya ngantuk.
Hari ini tuh bawaanya ngantuk terus, di kelas ngantuk, pas bimbel pun sama ngantuknya.
Waktu sudah menunjukan pukul 18.00 WIB, itu tandanya kelas bimbel selesai. Saya pun bergegas sholat.
“Udah Ki sholatnya?”, kata Jo sambil makan batagor
“Udah Jo. Eh anter ke warnet lah, mau nge-print tugas”, Ajak saya kepada Jo dan Geri.
“Kalem lah nonton Naruto dulu, lagi seru-serunya ini”, Timpal Jo
“Iya Ki, nonton dulu we, bentar ini nge-print mah” Geri pun ikut nimbrung
Saya pun nonton Naruto. Emang lagi seru-serunya episode saat itu, yaitu saat Guru Asuma dibunuh oleh Hidan. Para pecinta Naruto akan tahu bahwa ini adalah salah satu episode terbaiknya.
Kami bertiga keasikan nonton hingga lupa waktu. Jam tepat menunjukan pukul 19.30 WIB. Saya menagih janji mereka berdua untuk mengantar saya ke warnet.
Lokasi tempat bimbel saya berada sekitar 20 meter dari jalan raya, sedangkan lokasi warnet berada sekitar 50 meter dari jalan raya. Maka kami pun harus berjalan “ke dalem lagi” untuk bisa ke warnet itu.
4 Versus 1
Berhubung sudah malam, jalan yang saya lewati sudah sangat gelap dan jarang sekali motor yang melewat. Sangat berbeda saat siang hari.
Siang hari, jalanan yang saya lewati itu sangat ramai karena terdapat 2 sekolah SMA dan SMK yang saling berhadap-hadapan.
“Beuuh beres juga ini tugas, hayu pulang lah udah kemaleman ini”, Celetuk saya.
Saya berjalan berdampingan dengan Geri, sedangkan Jo berada sekitar 2 meter dibelakang kita.
Tepat ketika berada di depan SMA itu, tiba-tiba Jo dicegat oleh dua orang pemuda yang berusia sekitar 25 tahun.
Aku dan Geri mengacuhkannya dan terus berjalan.
“Paling itu cuma orang biasa yang nanya alamat rumah”, pikir saya dan Geri.
Jo terus memanggil saya dan Geri. Maka kami langsung mendatangi dia.
Kejanggalan pun dimulai. Dua orang tadi mengaku bahwa ada orang yang telah memukuli teman mereka hingga dirawat di rumah sakit. Pelaku pemukulan itu adalah salah satu siswa dari sekolah saya.
Saya bertiga kan engga tau apa-apa. Ya jawab seadanya aja kalau kita engga ikutan gank dan lain-lain lah.
Tapi kedua orang itu terus memaksa dan pura-pura menggeledah dompet kami serta hape dengan alasan untuk memeriksa apakah di dalam dompet terdapat kartu keanggoataan gank dan di dalam hape apakah terdapat kontak musuh mereka.
Jo tidak membawa dompet dan hape.
Dompet saya berisi uang Rp 15.000,- dan tidak punya hape.
Dompet Geri berisi uang Rp 100.000,- dan membawa hape Esia.
Dengan alasan ini, dan banyak lagi, mereka meminta salah satu dari kita untuk ikut ke rumah sakit bertemu teman mereka yang menjadi korban pemukulan.
Jo dan Geri menyuruh saya untuk ikut mereka ke rumah sakit. Sontak saya kaget, males juga kan ikut dengan orang yang tidak dikenal. Setelah perdebatan singkat saya pun kalah suara.
4 lawan 1, otomatis kalah telak saat itu.
“Buruan ikut aja biar cepet kelar. Udah malem ini”. Kata Jo.
Nyawa yang Terancam
Saya pun ikut mereka menuju rumah sakit yang dituju. Saya diapit oleh mereka ketika naik motor. Pikiran udah buruk aja saat itu.
Saya ingat salah satu guru saya pernah bilang seperti ini.
“Dulu ada temen bapak mau dijambret tapi engga jadi, soalnya pas mau dijambret baca Asmaul Husna, jadi keburu ketahuan oleh orang lain”
Saya pun langsung mempraktekannya sepanjang jalan.
Lah bukan dibawa ke rumah sakit, tapi saya malah dibawa ke sebuah sawah yang dekat dengan sungai. Suasana saat itu sangat mencekam.
Tidak ada penerangan, suara jangkrik dan hewan-hewan lain. Saya disuruh duduk di pinggir sungai yang cukup dalam.
Salah seorang dari mereka terus mendorong hingga saya hampir terjatuh ke sungai. Untungnya salah seorang lagi menghentikan tindakan tersebut.
Saya menjauh dari pinggir sungai tadi, ditakutkan hal lebih buruk terjadi kepada saya. Dompet dan hape Geri yang dibawa oleh saya pun mereka ambil sebagai barang bukti.
Lantas saya ditinggalkan begitu saja di sawah yan gelap itu?
Awalnya mereka akan meninggalkan saya di sawah itu, namun saya menolak karena untuk ke jalan raya sangat jauh. Saya meminta mereka agar berangkat bersama menuju rumah sakit.
Lagi-lagi mereka berasalan
“Sekarang banyak polisi, nanti kalau bonceng bertiga kamu mau bayar uang tilang? Udah kami anter raja sampai pinggir jalan, nanti kamu langsung ke rumah sakit untuk bertemu kami lagi”
Mereka pun mengantar saya hingga pinggir jalan. Kacaunya lagi uang saya tinggal Rp 2.000,-, untuk ongkos pulang aja engga cukup.
Terima Kasih Bapak Supir Angkot
Karena dompet dan hape Geri ada di tangan mereka, saya merasa punya tanggung jawab untuk mengambil kembali.
Mau tidak mau saya harus bisa mendapatkan hape yang mereka ambil. Saya nekat naik angkot walau engga ada ongkos lagi.
Waktu semakin malam dan angkot pun semakin jarang. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya ada angkot dan itupun kosong. Penumpangnya saya sendiri.
Awalnya malu, tapi saya tetap menceritakan apa yang telah terjadi pada saya dan teman-teman.
Saya memberitahu bahwa telah diculik dan dicopet oleh kedua orang tadi. berkali-kali juga saya dinasihati oleh supir angkot tadi agar segera pulang.
“Udah ikhlaskan saja sep, Pulang lagi weh ke teman-teman asep, Udah malem ini”
Itulah sepenggal nasihat dari supir angkot tadi.
Saya pun memutuskan untuk kembali tanpa mengunjugi rumah sakit. Saya sedikit memelas kepada supir angkot tadi karena tidak ada ongkos.
“Maaf pak saya engga ada ongkos, jadi turun disini aja ya pak.”
Sepertinya supir angkot itu merasa iba, justru saya yang diberi uang oleh supir tadi sebesar Rp 5.000,- untuk perjalanan pulang.
Terima kasih Pak Supir.
Saya pun berputar arah untuk kembali ke Jo dan Geri. Untuk sampai ke tempat Jo dan Geri saya harus naik angkot sekali lagi.
Dan…
Saya melakukan hal sama seperti sebelumnya, yaitu menceritakan apa yang terjadi. Kali ini saya mendapat nasihat dan tumpangan gratis lagi. Lumayan kan bisa dua kali naik angkot gratis.
Selamat Malam Pak Polisi
Sampai juga saya kepada Jo dan Geri.
Engga tau kenapa saya malah ketawa-ketawa saat itu, tidak ada perasaan takut sedikitpun. Setelah menceritakan semua yang terjadi, Jo dan Geri pun malah ikut ketawa saat kejadian bersama supir angkot.
Kami pun memutuskan untuk melapor ke kantor polisi. Jaraknya sekitar 100 meter dari tempat kami saat itu.
“Udah jam setengah 11 euy, hayu lah lapor dulu, barangkali ketangkep itu orang”, Saya berinisiatif kepada mereka.
Sesampainya disana para polisi heran, ngapain bocah-bocah SMP malem-malem gini ke kantor polisi.
Kami menceritakan dengan detail kejadian yang terjadi. Mulai dari A hingga Z. Udah berbudah mulut saya menceritakan semuanya.
Polisi menjelaskan bahwa kami telah mengalami penculikan dan perampokan, memang pada saat itu di daerah dekat saya sekolah sedang terjadi kasus perampokan dengan target para siswa.
Setelah mendapat wejangan dan nasihat agar lebih berhati-hati jika diajak oleh orang asing.
Kami pun meminta untuk mengabari orang tua. Saya dimarahi saat menelpon orang tua, disangka saya keluyuran engga izin. Padahal saya diculik.
Sebelum pulang kami diberi oleh-oleh berupa surat keterangan menjadi korban oleh pihak polisi. Setelah semua selesai, kami pamit untuk pulang.
Berhubung sudah hampir tengah malam, angkot pun sudah sangat jarang, ditambah lagi perut yang udah keroncongan karena belum makan dari siang.
30 menit kemudian barulah ada angkot.
Tugas Lagi, Tugas Lagi
Sepanjang perjalanan itu saya malah ditertawakan oleh Jo dan Geri. Kampret emang mereka.
Udah tau temen kena musibah malah ditertawakan. Tapi kalau dipikir-pikir sih emang lucu aja gitu, kok bisanya ya kita kecolongan, padahal engga dihipnotis.
“kiri-kiri pak”
Saya menginstruksikan agar angkot segera berhenti.
Tepatnya di Jalan Kopo. Kami bertiga dijemput oleh kedua kakak Jo, dan diantarkan pulang ke rumah masing-masing.
Saat sampai di rumah, saya langsung menceritakan kepada kedua orang tua saya apa yang telah dialami oleh anak laki-lakinya ini.
Saya dimarahi sekaligus dinasihati karena bertindak ceroboh.
Sedih saat itu, saya tahu bagaimana was-wasnya perasaan orang tua saat anaknya belum pulang sekolah sampai tengah malam. Syukurnya saya tidak luka sedikitpun. Biarlah uang Rp 15.000,- menjadi saksi bisu bahwa saya pernah diculik oleh orang-orang kurang duit ini.
Sebelum tidur saya biasaya menyiapkan buku untuk esok hari.
Dan…
Ada satu tugas mata pelajaran IPS yang belum saya kerjakan. Sepertinya tidur harus ditahan dulu sampai saya beres mengerjakannya.
Kantung mata yang hitam dan badan yang lesu mengisi saya esok harinya.
—
Jalan Dago yang macet sudah terlewati, saya ditertawakan setelah menceritakan semuanya.
“Lah ko malah diketawain sih?”
“Ya lagian sempet-sempetnya dalam hidup kamu ada pengalaman diculik”
“Itu mah musibah euy, siapa juga lagian orang yang mau diculik”
“Hati-hati makanya lain kali hahaha.”
Laju motor saya sengaja percepat agar bisa sampai ke tempat tujuan.